Senin, 03 Januari 2011

DESA Macan putih




Situs Macan Putih, Desa Macan Putih, Kabat, Banyuwangi. Tempat ini dulunya adalah tempat kremasi jenasah Raja Tawang Alun II Danurea.


Saat itu, pertengahan Mei lalu, saya memulai perjalanan menyusuri jejak Kerajaan Blambangan. Awal penjejakan memang dimulai dari Desa Macan Putih, sekitar 10 kilometer dari Kota Banyuwangi.

Saya merasa tertarik menapaki jejak kerajaan bercorak Hindu terakhir di tanah Jawa itu. Kerajaan yang berdiri sekitar abad XIII hingga abad XVIII itu hampir tidak pernah tercatat dalam buku sejarah nasional. Penelitian sejarah juga tergolong minim. Kerajaan Blambangan lebih populer diceritakan sebagai legenda dan mitos. Sebut saja tentang epos yang cukup terkenal: kisah Damarwulan versus Minakjingga.

Saya berkesempatan menyusuri jejak Kerajaan Blambangan itu sebagai rangkaian acara Blambangan Heritage Trail yang diselenggarakan sebuah universitas swasta di Banyuwangi. Dosen Sejarah Universitas Gajah Mada Doktor Sri Margana didapuk menjadi pemateri dalam acara itu. Desertasi doktor berusia 40 tahun itu di Universitas Leiden, Belanda, berjudul 'JAVA'S LAST FRONTIER: The Struggle for Hegemony of Blambangan, c 1763 - 1813.' dianggap semakin membuka sejarah Kerajaan Blambangan di era kolonial.

Para petani di Desa Macan Putih tampak sudah sibuk merawat tanaman padinya yang sebentar lagi memasuki masa panen. Berlomba dengan suara mesin bus, lamat-lamat saya mendengarkan bunyi-bunyian yang ditimbulkan dari kiling bambu. Ada sekitar lima kiling setinggi 10 meter ditanam di pinggiran sawah. Kiling itu terbuat dari seruas kayu yang dipasang di ujung bambu. Pada saat ditiup angin, kiling akan berputar dan menghasilkan bunyi, yang oleh petani di Banyuwangi dipercaya bisa mengusir burung.

Sebelum menjadi Desa Macan Putih, kawasan ini diberi nama hutan Sudiamara. Menurut Sri Margana, sekitar tahun 1665, Raja Blambangan ke VIII, yakni Tawang Alun II Danurea, menjadikan daerah yang subur ini sebagai ibu kota kerajaan.

Setelah Kerajaan Majapahit runtuh abad XV, Blambangan menjadi rebutan kerajaan-kerajaan Islam, seperti Demak, Pajang, dan Mataram, sebagai bagian ekspansi kerajaan-kerajaan itu ke wilayah Jawa bagian timur. Kerajaan-kerajaan di Bali, seperti Gelgel dan Mengwi juga berkepentingan dengan Blambangan untuk menangkal masuknya Islam. Sehingga, ibu kota Blambangan yang semula di Panarukan (sekarang masuk Situbondo) dan bercorak maritim, semakin terdesak ke pedalaman.

Dari sembilan raja yang pernah berkuasa di Blambangan, Tawang Alun II (1665-1691) merupakan raja terbesar. Wilayah kekuasaannya menjangkau Jember, Lumajang, Situbondo dan Bali. Masyarakat Blambangan saat itu hidup damai dan makmur, setelah sekian lamanya terlibat dalam berbagai peperangan melawan ekspansi kerajaan-kerajaan dari barat dan timur.


Powered by kemplenk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar